Jumat, 07 September 2007

KEADAAN KHUSUS DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

BAB III

KEADAAN KHUSUS DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

DAN PERANAN TERAPI KELUARGA

PENGARUH PERCERAIAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

PENDAHULUAN

Adalah hakekat seorang anak, bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangannya, ia membutuhkan uluran tangan dari kedua orangtuanya. Orangtualah yang paling bertanggungjawab dalam memperkembangkan keseluruhan eksistensi anak; termasuk disini kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang ke arah kepribadian yang harmonis dan matang.

Setiap keluarga tentu tak luput dari persoalan, mula-mula persoalan kecil, tetapi akhirnya menjadi persoalan-persoalan besar. Oleh karenanya seringkali keseimbangan akan terganggu dan membahayakan kehidupan keluarga. Tak jarang perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran diantara kedua orangtua tersebut berakhir dengan perceraian. Ketegangan-ketegangan antara ayah dan ibu ini akan mengakibatkan anak-anaknya tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang padahal faktor-faktor ini sangat penting bagi perkembangan anak secara normal. Rumah tangga yang tidak stabil ini serta perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran yang mendahului perceraian, menyebabkan anak bingung dan tidak tahu harus memihak kepada siapa. Ayah atau ibukah?

Perceraian sering diakhiri dengan kepergian ayah untuk hidup berpisah dengan anak isterinya. Ketidak hadiran sang ayah dan kunjungan yang tidak teratur setelah perceraian akan mempengaruhi anak dan ibu.

Meninjau permasalahan anak yang ditinggalakan oleh tokoh ayah karena perceraian. Ketidakhadiran ayah ini bisa membawa pengaruh langsung ataupun tidak langsung bagi anak-anaknya. Pada saat anak masih dalam masa bayi, ketidakhadiran ayah hanya membawa akibat yang tidak langsung bagi anak, karena pada masa ini anak lebih tergantung dan terikat pada ibunya. Sedang pada masa sekolah, peranan ayah mulai disadari dan dirasakan oleh anak, sehingga kepergian ayah berakibat langsung bagi anak tersebut.

Peranan lingkungan keluarga dalam perkembangan anak

Peranan lingkungan keluarga, terutama tingkahlaku dan sikap orangtua, sangat penting bagi seorang anak, terlebih lagi pada tahun-tahun pertama dalam kehidupannya. Lebih lanjut, anak mengidentifikasikan dirinya dengan anggota keluarga yang disayanginya, yaitu meniru tingkahlakunya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

A. Tokoh Ibu dan Ayah dalam keluarga

Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan bersama anak-anaknya daripada sang ayah. Hal ini tampak nyata Pada tahun-tahun permulaan kehidupan seorang anak. Bila ibu melakukan tugasnya dengan penuh kasih sayang, maka anak akan memperoleh kepuasan dan dapat mengadakan penyesuaian sosial yang baik. Tetapi bukanlah kuantitas dari kasih sayang yang diperlukan oleh seorang anak, melainkan kualitas hubungan antara ibu dengan anaknya. Selain kasih sayang, maka ibu juga harus menyediakan waktu yang cukup untuk dapat bermain-main dengan anaknya serta memujinya bilamana ia memperlihatkan sopan santun yang baik.

a. Ibu tokoh yang mendidik anak-anaknya, yang memelihara perkembangan anak-anaknya dan juga mempengaruhi aktivitas-aktivitas anak diluar rumahnya.

b. Ibu merupakan tokoh yang dapat melakukan apa saja untuk anaknya, yang dapat mengurus sertqa memenuhi kebutuhan fisiknya dengan penuh pengertian.

c. Ibu yang selalu datang bilamana anak menemui kesulitan, serta dapat mentoleransikan sebagian besar tingkahlaku kekanak-kanakannya.

Hal ini dapat terlaksana bilamana ibu memainkan peranannya dengan hangat dan akrab, melalui hubungan yang berkesinambungan dengan anaknya.

Melalui hubungan kasih sayang dan kedekatan dengan tokoh ibu ini, anak belajar mengimitasikan tingkahlakunya yang lemah lembut, rendah hati dan sebagainya, sebagai layaknya seorang wanita harus bertingkahlaku.

Ayah pada permulaan kehidupan seorang anak memang memiliki kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anak-anaknya. Dengan meningkatnya usia anak, peranan ayah semakin banyak dan kompleks. Peranan ayah ini tergantung dari jenis kelamin anak. Umumnya ayah cenderung lebih memanjakan anak wanita, sedangkan dengan anak laki-lakinya, ayah lebih ambisius. Ayah, sebagai orang yang mengepalai keluarganya, selalu menjadi otoritas terakhir dalam membuat keputusan-keputusan yang utama. Bila tokoh ibu bagi seorang anak merupakan tokoh yang dipercayainya dan mempunyai hubungan yang dekat dengan anaknya, maka tokoh ayah merupakan benteng kekuatan, pada siapa anak dan ibu biasanya bergantung. Seorang ayah harus dapat menjadi orang kuat bagi anak-anaknya dan menjadi tempat bertanya bagi mereka. Ia membimbing anak-anaknya untuk berani menghadapi kehidupan di dunia ini.

E. Hurlock mengemukakan bahwa ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai teman atau rekan bagi anak-anaknya, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu untuk dan bersama anak-anaknya. Peranan ayah tampak melalui aktivitas-aktivitas ayah yang berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan, keahlian-keahlian yang dibutuhkan anak, mengarahkan minatnya serta mengembangkan kemampuan intelektualnya. Melalui sikap dan tingkahlaku ayah sebagai kepala keluarga, maka anak belajar bertingkahlaku sebagai layaknya seorang laki-laki. Tahap menghadapi segala sesuatu, tabah, tidak suka menangis, tegas, dan berani.

Orangtua yang baik harus memiliki kualitas sebagai ayah dan ibu yang menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Mereka harus dapat memerankan tugasnya dengan baik. Mereka harus cukup dapat memberikan afeksi dan menghargai serta menghormati anak sebagai subyek. Mereka dapat dan bersedia melakukan apapun demi anaknya, dan merupakan orangtua yang dapat diandalkan sang anak. Dalam batas-batas tertentu mereka murah hati dan mau mengabulkan permintaan anaknya. Mereka merupakan sumber cinta dan sumber kasih sayang. Mereka merupakan teman intim bagi anaknya. Tokoh yang menaruh perhatian bila anak dalam kesulitan nestapa. Hal ini hanya dapat terlaksana dengan baik melalui kesatuan yang serasi antara ayah dan ibu serta keadaan rumah yang harmonis.

B. Ketidak Hadiran Ayah Dalam Keluarga

Seringkali kita jumpai rumah tangga tanpa kehadiran tokoh ayah, dengan bermacam-macam alasan, mungkin karena ayah harus pergi ke tempat lain untuk menunaikan tugasnya, meninggal atau hidup berpisah karena perceraian. Ketentraman rumah tangga akan terganggu dan hal inipun akan membawa akibat bagi perkembangan anak. Seberapa besar akibatnya, tergantung dari:

1) Seberapa jauh keterikatan anak dengan ayah. Bila anak sebelumnya memiliki hubungan yang dekat dan erat, dimana ayah juga banyak melibatkan diri dalam mengembangkan anaknya, maka ketidakhadiran ayah ini benar-benar merupakan suatu kejadian traumatis bagi seorang anak.

2) Jenis kelamin anak juga pengaruh tertentu. Bagi seorang anak laki-laki, ayah merupakan tokoh identifikasi, dimana melalui ayah, anak laki-laki dapat belajar bersikap, bertingkah laku dan berperasaan sebagaimana layaknya seorang laki-laki. Setiap anak laki-laki membutuhkan ayah sebagai contoh, sehingga kehilangan ayah berarti kehilangan sumber identifikasi. Bagi seorang wanita, ketidak hadiran seorang ayah tidak mempengaruhi perkembangannya.

3) Kapan saatnya berpisah itu terjadi juga merupakan sesuatu yang penting. Ketidak hadiran ayah tidak begitu dirasakan oleh anak-anak yang masih kecil, karena anak-anak ini lebih terikat dan tergantung pada ibunya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu daripada ayah. Tetapi tidak demikian halnya dengan anak-anak prasekolah atau sekolah, kehadiran dan peran ayah mulai dirasakan. Kehidupan anak pada masa itu masih terpusatkan dalam keluarganya, sehingga ketidakhadiran ayah mengakibatkan anak merasa tidak aman, dunianya seolah-olah runtuh.

4) Pengaruh ketidak hadiran ayah dalam sikap ibu kepada anaknya. Bila ibu cukup kuat dan mampu mengatasi goncangan-goncangan tersebut dengan mudah, maka akibatnya bagi anak tidak begitu buruk.

5) Yang penting dari ini semua adalah sebab ketidak hadiran ayah tersebut. Ketidak hadiran ayah karena ia harus bekerja di luar kota akan berbeda efeknya bila dibandingkan dengan anak yang ditinggal karena kematian atau karena perceraian. Sebab-sebab dari ketidak hadiran tokoh ayah ini akan menentukan bagaimana pengaruhnya bagi anak.

a. Kepergian ayah karena tugas kerjanya, seringkali menimbulkan situasi tertekan, baik bagi anak maupun orangtuanya. Saat terjadinya suatu perpisahan sangat berat bagi siapapun juga dan setiap anggota keluarga harus menyesuaikan diri dengan perpisahan tersebut untuk kemudian menyesuaikan diri kembali, bila ayah telah pulang dari tugasnya.

b. Demikian juga ketidak hadiran ayah karena kematian membuat anak menjadi takut dan merasa terganggu. Ia merasakan dirinya suatu waktu juga akan binasa, maka biasanya anak tergoncang oleh kematian ayahnya. Oleh karenanya, anak seringkali sukar diajak tidur, sering marah-marah. Kehilangan ayah menyebabkan anak mentransfer afeksinya pada ibunya dan mengharap bahwa dengan cara ini ia akan memperoleh rasa aman yang sebelumnya ia dapatkan dari kedua orangtuanya. Ibu mengalami kekurangan waktu untuk memberikan perhatian, asuhan dan kasih sayang yang dibutuhkan anak, karena ibu sekarang harus bekerja, disamping harus menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya.

c. Ketidak hadiran ayah karena perceraian juga akan mengganggu si anak, karena suasana rumah yang penuh pertengkaran. Anak mengalami banyak kesulitan untuk memilih berdiri pada pihak mana. Sedangkan bila anak ditinggal oleh ayahnya karena kematian, maka ibu dan anak berada dalam satu kesatuan, berada dalam suasana penuh kesedihan dan tangisan. Perceraian bagi seorang anak merupakan suatu kesengajaan dan menyebabkan hubungan dalam keluarga menjadi dingin. Anak berada dalam kesendirian dengan segala perasaan yang tidak menyenangkannya. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan suasana kehilangan karena kematian, di sini anak dapat membagi-bagi kesedihan dengan orang-orang lain.


Anak Pada Masa Sekolah dan Rasa Aman

A. Masa Sekolah (5 – 12 tahun)

Pada masa sekolah ini, cara berpikir si anak lebih didasarkan pada kenyataan, bukan atas dasar fantasi seperti pada fase sebelumnya. Sejalan dengan lingkungannya yang baru yaitu lingkungan sekolah, maka anak lebih mengembangkan cara berpikir yang teratur dan memperluas kehidupan sosialnya. Pusat aktivitasnya ditujukan pada sekolahnya, tugas-tugas intelektual, hubungan dengan guru dan teman serta norma-norma dan tuntutan sosial.

Pada masa sekolah ini, anak bertemu dengan guru-guru dan teman-teman yang berbeda dalam kemampuan mentalnya, kemampuan emosionalnya, status sosialnya dan sebagainya, sehingga anak lebih berkembang sebagai makhluk sosial. Pola hubungan diarahkan dari hubungan intim di dalam keluarga menjadi intim antar teman. Melalui hubungan yang terjadi berulang-ulang dengan orang atau anak lain inilah, maka egosentrisitas mulai berkurang, dan sebaliknya partisipasi sosial mulai bertambah. Bila pada masa sebelumnya, anak memperoleh segala sesuatu dari lingkungannya, maka sekarang pada masa sekolah, ia harus belajar untuk memperoleh kepuasan sendiri.

Selain itu, anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, yaitu lingkungan sekolah serta teman-temannya. Ia diminta untuk melakukan sesuatu, oleh karenanya ia harus menguasai keahlian baru, menggunakan lebih banyak kontrol emosi dan memperoleh lebih banyak pengetahuan. Sukar bagi seorang anak untuk belajar sesuatu yang baru, mendapatkan keahlian-keahlian yang baru dan bentuk baru dari kontrol emosi, memasuki lingkugan, teman-teman dan pekerjaan-pekerjaan yang semuanya masih baru dan asing. Dunianya yang baru dimasukinya tanpa perlindungan dan bimbingan langsung dari kedua orangtuanya, yang lazimnya ia terima pada masa prasekolah. Sudah jelas anak tidak dapat melakukan sesuatu sebagaimana layaknya orang dewasa. Pengalamannya masih kurang, dan iapun kurang bijaksana untuk memilih apa yang cocok baginya, sesuai dengan usianya. Anak-anak pada masa ini masih membutuhkan pertolongan dalam membentuk tingkahlakunya sesuai dengan situasi, kondisi dan aturan-aturan yang semuanya baru baginya. Ia membutuhkan rasa aman dari kedua orangtuanya dan orang-orang dewasa di lingkungannya. Melalui pengalaman-pengalaman di rumahnya inilah, anak diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap pengalaman-pengalaman di sekolahnya, atau malah sebaliknya, anak menjumpai banyak masalah.

Menurut Jersild dalam bukunya E. James Anthony, pada masa ini anak merasa takut apabila gagal di sekolah, takut diejek, takut tercela, takut kehilangan miliknya, takut memperoleh penyakit berat. Erik H. Erikson dalam bukunya Hendry W. Maiter mengatakan bahwa pengalaman yang terpenting pada masa ini adalah dalam kerjasama antar teman, sikap-sikap terhadap kerja dan kelompok persahabatan. Bila pengalaman-pengalaman pada masa ini membawa banyak perasaan cemas, maka akan menimbulkan perasaan “inferiority” terhadap kemamuan dan kedudukannya di antara teman-temannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mas ini, anak merasa takut bila gagal di sekolah, takut diejek, takut tercela, takut kehilangan miliknya, takut akan penyakit, oleh karena pada masa ini anak memiliki motivasi yang tinggi terhadap karya dan kerjasama di antara teman-temannya.

B. Rasa aman

Selain kebutuhan-kebutuhan fisik, anak juga membutuhkan kebutuhan yang bersangkutan dengan hal-hal yang psikis, diantaranya kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, terlindung, jauh dari perasaan takut dan cemas, kebutuhan akan kebebasan menyatakan diri, kebutuhan mengadakan hubungan dengan sesama teman, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan-kebutuhan si anak ini hanya dapat dipuaskan melalui lingkungannya, terutama orangtuanya. Ia tetap membutuhkan keluarganya untuk mengembangkan dirinya, baik secara fisik maupun emosional serta bimbingan dan rasa aman.

Oleh karenanya, anak membutuhkan perlindungan dan pengalaman yang kaya serta bervariasi dari seseorang, melalui kecintaan dalam asuhannya. Melalui perlakuan kasih sayang dari orang dewasa ini hanya dapat dipenuhi bila kebutuhan anak akan penghargaan, persetujuan dan simpati dapat diatasi. Rasa aman yang ada padanya ini memungkinnya untuk bermain dan bekerja dengan teman-temannya. Ia tidak hanya membutuhkan sekedar asuhan fisik yang tepat, tetapi lebih daripada itu. Ia membutuhkan keadaan rumah yang penuh dengan suasana yang aman. Ia juga membutuhkan suasana yang bersahabat, untuk melepaskan diri dari ketegangan. Bila semua kebutuhan ini dapat dipenuhi, maka anak akan memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan mampu mengatasi tekanan-tekanan dan frustasi yang dijumpai dalam kehidupannya.

TERAPI KELUARGA DAN PERANNYA DALAM MENGHADAPI MASALAH TINGKAHLAKU ANAK DAN REMAJA

Usaha untuk mengubah tingkahlaku seseorang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Berbagai jenis metode psikoterapi diperkenalkan oleh para ahlinya masing-masing dengan latar belakang ilmiahnya yang menunjang. Diantara macam-macam pendekatan ini, dikenal suatu pendekatan struktural untuk memberikan tetapi terhadap keluarga, yang mulai berkembang pada awal tahun 50-an dan dikenal dengan “Family therapy” atau terapi keluarga.

Titik tolak terapi ini ialah kenyataan-kenyataan yang mudah diamati dalam kehidupan-kehidupan keluarga yakni bilamana seorang anggota keluarga mengalami atau mempunyai masalah-masalah yang mengganggu keseimbangan dirinya, yang menggoncangkan penampilan tingkahlakunya, maka seluruh keluarga akan ikut mengalami gangguan dan kegoncangan itu.

“Terapi keluarga” memusatkan usahanya untuk melakukan perubahan terhadap keluarga sebagai suatu kesatuan dan mencapai keseimbangan yang serasi dalam hubungan-hubungan antar-pribadi di dalam keluarga. Penderita yang menjadi sumber permasalahan atau dalam istilah terapi keluarga dikenal dengan istilah “identified patient” diarahkan agar si penderita sendiri dengan bantuan dari anggota keluarga memperoleh jalan keluar mengurangi ketegangan dan merasa bebas dari beban yang dirasakan sebagai masalah.

Fungsi terapi sendiri penting dalam mengemudikan arah jalannya keluarga. Terapis bukan sebagai pendidikan yang lepas dari kelompoknya melainkan sebagai anggota dalam kelompok keluarga yang berusaha mengubah sistem hubungan-hubungan agar dapat berfungsi positif bagi seluruh keluarga.

Menurut Salvador Minuchin salah seorang tokoh terkenal dalam bidang terapi keluarga, fungsi dari terapis adalah: “... membantu pasien yang diidentifikasikan dan keluarga dengan jalan memberikan sarana transformasi pada sistem keluarga”. Konsep-konsep struktural yang mendasari terapi keluarga menurut Minuchin ada tiga hal yakni:

1. Transformasi yang terjadi dalam struktur keluarga akan menghasilkan sedikitnya satu kemungkinan perubahan.

2. Sistem keluarga terbentuk dari dukungan, pengaturan, pengasuhan dan sosialisasi dari para anggotanya.

3. Sistem keluarga mempunyai alat-alat dan cara-cara untuk berjalan atau berputar sendiri, karena itu dapat diharapkan, bilamana, terjadi perubahan, keluarga akan mempertahankan agar apa yang telah berubah yang terjadi pada waktu dilakukan terapi keluarga dapat berlangsung terus.

Dalam menghadapi kasus, seperti ini di mana hubungan-hubungan komunikatif antara orangtua dengan anak dan anak yang satu dengan anak yang lain tidak ada, terapi-terapi individual yang diberikan kepada masing-masing pribadi yang bersangkutan tidak cukup.

Terapi keluarga perlu diberikan agar masing-masing merasa cukup bebas mengemukakan masalah-masalah yang dirasakan. Terapis dalam hal ini berusaha menyusun struktur yang baru dari sistem yang ada dalam keluarga, yang dalam bidang terapi keluarga dikenal dengan istilah “transformasi”.

Minuchin mengemukakan: “transformasi biasanya tidak mengubah komposisi dari keluarga. Perubahan terjadi pada corak hubungan pada mana pribadi-pribadi yang sama saling berhubungan”.

Hubungan timbal balik antara anak dengan ayahnya dan antara anak dengan kakaknya diarahkan agar terjadi hubungan komunikatif dan tercapai keadaan seimbang dalam keluarga. Kesediaan dari semua pihak untuk memperbaiki hubungan-hubungan ini sangat diperlukan, karena tanpa kesediaan ini usaha-usaha pendekatan melalui terapi keluarga untuk menghilangkan ketegangan dan mencapai keseimbangan akan sia-sia belaka.

Virgina Satir, tokoh lain dalam bidang terapi keluarga mengemukakan antara lain: sesuai dengan konsep dari keseimbangan dalam keluarga, keluarga berfungsi sedemikian rupa agar mencapai keseimbangan dalam hubungan-hubungannya.

Dari pengalaman dan pengamatan pribadi, tidak semua masalah kelakuan pada anak dan remaja membutuhkan penanganan melalui pendekatan terapi keluarga. Banyak kasus pada anak dapat diselesaikan dengan pendekatan individual, baik terhadap anak sebagai identified patient maupun kepada orangtuanya untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih berfungsi positif. Pendekatan individual diartikan melakukan terapi secara terpisah.

Michael Rutter, mengatakan bahwa “terapi keluarga dapat dipergunakan bilamana masalah utama terletak pada komunikasi dan interaksi dalam keluarga: yaitu adanya kesulitan-kesulitan untuk saling memahami satu sama lain, saling menyetujui atau menemukan orang lain yang bersedia mendengarkan dan dapat dipercaya”.

Rutter juga menyatakan: “Terapi keluarga hendaknya tidak dipergunakan terhadap anak-anak yang masalahnya sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor intrinsik pada anak atau ekstrinsik pada orangtua”. Masalah tingkah laku pada anak dan remaja melibatkan orang tua untuk ikut menangani. Menyerahkan anak pada terapis sepenuhnya untuk memberikan terapi tanpa orangtua ikut berusaha mengubah sikap atau menstruktur suasana yang lain di rumah sebenarnya tidak akan banyak manfaatnya. Kalau kesadaran untuk mengubah sikap sudah ada, kesadaran untuk mengubah suasana hidup dirumah sudah diyakini.

Beberapa hal dapat disimpulkan yakni:

1) Tidak semua masalah tingkahlaku pada anak dan remaja dapat diberikan terapi dengan teknik terapi keluarga. Masalah-masalah kelakuan pada anak dan remaja yang bersumber pada hubungan-hubungan yang tidak serasi antara anak dengan orangtua, antara anak yang satu dengan anak yang lain adalah yang sesuai untuk diberikan terapi keluarga.

2) Pendekatan dengan teknik terapi keluarga seringkali harus dibarengi dengan teknik-teknik terapi yang lain untuk tujuan terapi klinis-individual.

3) Adanya faktor kebudayaan yang menghambat proses berlangsungnya terapi. Untuk mengatasi hal ini diperlukan persiapan-persiapan yang matang pada semua anggota keluarga, termasuk penjelasan mengenai tujuan melakukan terapi keluarga.

4) Kesediaan dan kerjasama dari orangtua, terutama tokoh ayah untuk mengikuti acara-acara terapi secara penuh dan tidak sekedar melakukan pembicaraan-pembicaraan konsultatif serta menyerahkan anak yang mengalami masalah kepada terapis.

Tidak ada komentar: