Jumat, 07 September 2007

PERKEMBANGAN ASPEK MORAL DAN SOSIAL PADA ANAK

BAB II

PERKEMBANGAN ASPEK MORAL DAN SOSIAL PADA ANAK

PERANAN TERHADAP PEKEMBANGAN MORAL ANAK

Pada hakekatnya, para orang tua mempunyai harapan agar anak-anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain. Harapan-harapan ini kiranya akan lebih mudah terwujud apabila sejak semula, orang tua telah menyadari akan peranan mereka sebagai orangtua yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak.

Seorang anak kecil sulit diharapkan untuk dengan sendirinya bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, mengerti apa yang dituntut lingkungan terhadap dirinya, dan sebagainya. Aspek moral seorang anak merupakan sesuatu yang berkembang dan diperkembangkan. Artinya, bagiaman akan itu kelak akan bertingkahlaku sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, semua itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan anak yang ikut memperkembangkan secara langsung ataupun tak langsung, aspek moral ini. Karena itu faktor lingkungan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang tuanya, maka peranan orangtualah yang dirasa paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, disamping pengaruh lingkungan lainnya seperti sekolah dan masyarakat.

Pengertian moralitas dan perkembangannya pada seorang anak

Istilah moral berasal dari kata latin: MOS (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan. Sedangkan pengertian moralitas berhubungan dengan keadaan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Jadi suatu tingkahlaku dikatakan bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kelompok sosial di mana anak itu hidup. Nilai-nilai moral ini tidak sama pada semua masyarakat, umumnya nilai-nilai moral ini dipenuhi oleh kebudayaan dari kelompok atau masyarakat itu sendiri. Apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok atau masyarakat lainnya. Tetapi apa yang oleh suatu kelompok dianggap tidak baik namun dilakukan juga oleh seseorang dalam kelompok tersebut, maka tingkahlaku orang tersebut dikatakan tidak bermoral.

Pada awal kehidupan seorang bayi, kita tidak dapat menilai tingkah lakunya sebagai bermoral atau tidak bermoral. Pada hakekatnya, seorang anak atau bayi belum bermoral, artinya ia belum memiliki pengetahuan dan pengertian akan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial dimana ia hidup.

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; nilai-nilai moral yang dimiliki seorang anak lebih merupakan sesuatu yang diperoleh anak dari luar. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini berarti orang tua, saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya. Pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, sepenuhnya bergantung pada orang lain, yaitu orangtuanya, maka di sinilah pentingnya peranan orang tua sebagai orang pertama yang dikenal anak dalam hidupnya untuk memperkembangkan kehidupan moral anaknya. Anak terutama akan belajar dari orangtuanya bagaimana ia harus bersikap terhadap orang lain, tingkahlaku-tingkahlaku apa yang baik untuk dilakukan atau yang harus dihindari. Namun tidak berarti apabila seorang anak menunjukkan tingkahlaku yang tidak bermoral, hal itu disebabkan karena orangtuanya. Faktor individual dan lingkungan lainnya di sekitar kehidupan si anak, dapat pula mempengaruhi perkembangan tingkahlaku tersebut. Dapat dikatakan bahwa orangtua bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi perkembangan moral anak, namun orang tua dapat mengarahkan perkembangan moral anak sejauh mungkin, dengan menyadari akan peranannya yang besar dalam kehidupan anak.

Adapun beberapa sikap orangtua yang perlu mendapat perhatian, guna perkembangan moral anaknya adalah:

1. Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak-anak.

Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus pula dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu yang lain. Harus ada konsistensi dalam hal apa-apa yang mendatangkan pujian atau hukuman pada anak. Juga antara ayah dan ibu harus ada kesesuaian dalam melarang atau memperbolehkan tingkah-tingkah laku tertentu pada anak. Tidak adanya konsistensi akan mengaburkan pengertian anak tentang apa yang baik dilakukan atau yang tidak baik untuk dilakukan.

2. Sikap orang tua dalam keluarga

Bagaimana sikap ayah terhadap ibu atau sikap ibu terhadap ayah, bagaimana sikap orantua terhadap saudara-saudaranya, dan lainnya. Sikap-sikap ini dapat berpengaruh pula terhadap perkembangan moral anak secara tidak langsung, yaitu melalui proses peniruan. Anak meniru sikap dari orang-orang yang paling dekat dengan dirinya dan yang ditemuinya setiap hari.

3. Penghayatan orangtua akan agama yang dianutnya

Orangtua yang sungguh-sungguh menghayati kepercayaannya kepada Tuhan, akan mempengaruhi sikap dan tindakan mereka sehari-hari. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap cara-cara orangtua mengasuh, memelihara, mengajar dan mendidik anak-anaknya. Anak yang banyak dibekali dengan ajaran-ajaran agama, hidup dalam kepercayaan dan kesetiaan kepada Tuhan; semua itu dapat menjadi dasar yang kuat untuk perkembangan moral anak serta keseluruhan kehidupannya di kemudian hari.

4. Sikap konsekuen dari orangtua dalam mendisiplin anaknya

Orangtua perlu menjaga sikapnya. Adanya ketidak sesuaian antara apa yang diajarkan atau dituntut orangtua terhadap anaknya, dengan apa yang dilihat anak sendiri dari kehidupan orangtuanya, dapat menimbulkan konflik dalam diri si anak dan anak dapat menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diajarkan orangtuanya.

Dengan kata lain orantua berperan besar dalam mengajar, mendidik serta memberi contoh atau teladan kepada anak-anaknya mengenai tingkahlaku apa yang baik, yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku, ataupun tingkah-tingkah laku yang tidak baik dan perlu dihindari. Dalam perkembangannya, anak perlu dibimbing untuk mengetahui, mengenal, mengerti dan akhirnya dapat menerapkan sendiri tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral serta tingkahlaku yang perlu dihindari.

Proses perkembangan tingkahlaku moral

Seorang anak dapat belajar untuk bertingkah laku seperti yang diharapkan masyarakat kepadanya, melalui beberapa cara:

1. Melalui pengajaran langsung atau melalui instruksi-instruksi

Pembentukan tingkah laku moral di sini melalui penanaman pengertian tentang apa yang betul dan apa yang salah. Anak diajar untuk mengenal dan mematuhi aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua atau oranglain yang mempunyai otoritas.

2. Melalui identifikasi

Seorang anak mengidentifikasikan diri dengan seorang tokoh atau model (misalnya orangtua), maka anak cenderung mencontoh pola-pola tingkahlaku moral dari tokoh atau model tersebut.

Anak yang umumnya mengidentifikasikan diri dengan orangtua, apabila ia sering melihat orangtuanya berbicara kasar terhadap pembantu misalnya, maka cenderung meniru tingkahlaku ini.

3. Melalui proses coba-salah

Anak belajar mengembangkan tingkahlaku moralnya, dengan mencoba-coba suatu tingkahlaku. Anak melihat apakah dengan ia bertingkahlaku tertentu, lingkungan akan menerimanya atau menolaknya.

Tahap-tahap perkembangan moral anak dan peranan orangtua

Perkembangan moral seorang anak berlangsung secara bertahap, dimana tahap yang satu hanya dapat dicapai apabila tahap sebelumnya telah dilampaui anak. Tiap-tiap tahap itu mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. J. Piaget dan L. Kohlberg mengatakan bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan aspek kognitifnya.

Tahap usia 0 – 3 tahun

Anak belum mampu berpikir mengapa suatu tingkahlaku itu dikatakan baik atau tidak baik, benar atau salah. Pengertian anak pada masa-masa ini tentang baik dan tidak baiknya suatu tingkahlaku, hanya terbatas pada konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti laku tersebut.

Pada masa-masa ini, anak melihat orangtua sebagai otoritas yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apa yang ditentukan oleh orangtua harus diturut oleh anak. Orang tua berperan besar dalam membimbing dan mengarahkan tingkahlaku anak. Apabila ada anak telah ditanamkan disiplin yang teratur, maka pada usia 3 tahun anak akan mengetahui perbuatan apa yang diperbolehkan karena itu benar, dan perbuatan apa yang tidak disetujui karena itu salah.

Tahap usia 3 – 6 tahun

Pada masa ini anak sudah memiliki dasar-dasar dari sikap-sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya. Pada masa ini anak harus lebih ditunjukkan mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku. Anak harus dapat merasakan akibat yang menyenangkan dari tingkahlakunya yang sesuai dengan harapan kelompok sosial, demikian pula akibat yang tidak menyenangkan apabila ia tidak berlaku demikian.

Peranan orangtua sangat besar dalam mendisiplin anak untuk berbuat baik. Dengan adanya rangsangan-rangsangan dari orangtua untuk anak berbuat baik, diharapkan bahwa pada anak dapat tertanam nilai-nilai moral yang baik. Orangtua yang sering menceritakan anak-anaknya akan cerita-cerita keagamaan, dapat pula merangsang anak untuk meniru perbuatan-perbuatan baik yang pada umumnya mendatangkan kesenangan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan hukuman.

Pada usia 5 – 6 tahun, penanaman konsep-konsep moralitas pada anak-anak ini mungkin mengalami kesulitan disebabkan karena sifats-sifat egoisme anak yang sedang menonjol pada masa ini.

Tahap usia 6 - remaja

Pada masa ini, anak sudah memasuki sekolah, yang berarti bahwa lingkungan kehidupan anak juga bertambah luas. Anak mulai mengenal adanya kelompok sosial yang lain disamping keluarganya. Baik anak laki-laki maupun perempuan, belajar untuk bertingkahlaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Nilai-nilai atau kaidah-kaidah moral sebagian besar lebih ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dalam lingkungan kelompoknya. Maka pada usia 8 – 9 tahun, konsep-konsep mereka bertambah luas dan umum. Mereka sadar bahwa ‘mencuri adalah salah’ dan bukan hanya ‘salah kalau mencuri sebuah bola’. Pada usia 10 – 12 tahun, anak sudah dapat mengetahui dengan baik alasan-alasan atau prinsip-prinsip yang mendasari suatu peraturan. Anak sudah mampu membedakan macam-macam nilai moral serta macam-macam situasi di mana nilai-nilai moral itu dapat dikenakan. Anak sudah mengenal konsep-konsep moralitas seperti: kejujuran, hak milik, keadilan dan kehormatan. Pada anak juga terdapat dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain.

Orang tua yang penuh kasih dan pengertian akan anak-anaknya, yang tidak lagi terlalu bersikap otoriter seperti sikapnya terhadap anak-anak yang lebih kecil, serta yang selalu menunjukkan contoh-contoh yang baik dalam kehidupannya sehari-hari, diharapkan dapat mencegah anak dari berbuat hal-hal yang tidak baik, yang mungkin ditirunya dari kelompok sosialnya.

Menjelang usia remaja, anak sudah mengembangkan nilai-nilai moral sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman di rumah dan dalam hubungannya dengan anak-anak lain.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terhadap perkembangan moral anak, orangtua mempunyai peranan penting, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu bagaimana cara dan sikap orangtua dalam mendidik, mendisiplin dan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anaknya. Sedangkan secara tidak langsung yaitu bagaimana tatacara dan sikap hidup si orang tua sendiri sehari-harinya, yang oleh anak dapat ditiru melalui proses belajar. Diharapkan, nilai-nilai moral yang sudah ditanamkan orangtua dirumah, dapat pula dikembangkan anak pada lingkungan yang lebih luas di mana anak itu kelak akan hidup.

MENANAMKAN DISIPLIN PADA ANAK

Kehidupan manusia diatur oleh macam-macam aturan agar tidak timbul kekacauan dan kesewenangan tingkahlaku. Kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan seseorang dibatasi oleh macam-macam tatacara agar dapat harmonis dengan lingkungannya dan tidak menimbulkan masalah baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan dimana seseorang itu berada. Tatacara ini ada yang mengikat misalnya norma-norma hukum dan ada yang longgar misalnya tatacara yang berhubungan dengan kebiasaan, adat istiadat dan penyesuaian diri. Tatacara kehidupan ada yang berlaku lama, relatip menetap atau sedikit terjadi perubahan, contohnya ialah nilai-nilai kebudayaan. Sebaliknya ada tatacara kehidupan yang cepat berubah-ubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kelompok maupun masyarakat.

Apakah disiplin itu? Disiplin pada anak terlihat bilamana pada anak ada pengertian-pengertian mengenai batas-batas kebebasan dari perbuatan-perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Disiplin ini ditanamkan oleh orangtua sedikit demi sedikit. Kadang-kadang diperlukan sikap dan tindakan otoriter agar anak mengerti dan bisa mengembangkan dengan sendirinya hal-hal yang diperlukan untuk bisa mengurus diri sendiri (self governing) dan menyesuaikan diri dengan tata cara kehidupan yakni norma-norma dan nilai-nilai yang ada. Elizabeth B. Hurlock menerangkan disiplin sebagai suatu proses dari latihan atau belajar yang bersangkut paut dengan pertumbuhan dan perkembangan. Seseorang dikatakan telah berhasil mempelajari kalau ia bisa mengikuti dengan sendirinya tokoh-tokoh yang telah mengajarkan sesuatu yaitu orangtua atau guru-guru. Apa yang dipelajari akan mengarahkan kehidupannya agar bisa bermanfaat bagi dirinya maupun masyarakat dan menimbulkan perasaan bahagia dan sejahtera.

Mendisiplin anak bukanlah bertujuan agar anak menjadi seorang yang penurut, meskipun bisa saja pada permulaan memperkenalkan atau menanamkan disiplin diperlukan sikap otoriter supaya anak menurut, lambat laun apa yang ditanamkan atau ditumbuhkan itu harus menjadi dari tingkahlakunya sehari-hari.

Cara menanamkan disiplin

1. Cara otoriter

Pada cara ini orangtua menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus dita’ati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Kalau anak tidak memenuhi tuntutan orangtua, ia akan diancam dan dihukum. Orangtua memerintah dan memaksa tanpa kompromi.

Dengan cara otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam akan menjadikan anak “patuh” dihadapan orangtua, tetapi dibelakangnya ia akan memperhatikan reaksi-reaksi misalnya menentang atau melawan karena anak merasa “dipaksa”. Reaksi menentang dan melawan bisa ditampilkan dalam tingkahlaku-tingkahlaku yang melanggar norma-norma dan yang menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya maupun lingkungan rumah, sekolah dan pergaulannya. Cara otoriter memang bisa diterapkan pada permulaan usaha menanamkan disiplin, tetapi hanya bisa pada hal-hal tertentu atau ketika sianak berada dalam tahap perkembangan dini yang masih sulit menyerap pengertian-pengertian. Cara otoriter masih bisa dilakukan asal memperhatikan bahwa dengan cara tersebut anak merasa terhindar, aman dan tidak menyebabkan anak ketakutan, kecewa, menderita sakit karena dihukum secara fisik. Cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak.


2. Cara bebas

Orangtua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan-batasan dari tingkahlakunya. Pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orangtua baru bertindak. Pada cara bebas ini (1) pengawasan menjadi longgar. (2) anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. (3) pada umumnya keadaan seperti ini terdapat pada keluarga-keluarga yang kedua orangtuanya bekerja, terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga tidak ada waktu untuk mendidik anak dalam arti yang sebaik-baiknya. (4) Orangtua merasa sudah mempercayakan masalah pendidikan anak kepada orang lain yang bisa mengasuh khusus atau bisa pula anggota keluarga yang tinggal dirumah. (5) orangtua hanya bertindak sebagai “polisi” yang mengawasi, menegor dan mungkin memarahi. (6) orangtua tidak biasa bergaul dengan anak, hubungan tidak akrab dan merasa bahwa anak harus tahu sendiri. (7) perkembangan kepribadiannya menjadi tidak terarah. (8) pada anak tumbuh keakuan (egocentrisme) yang terlalu kuat dan kaku dan mudah menimbulkan kesulitan-kesulitan kalau harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan sosialnya.

3. Cara demokratis

Cara ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua.

Cara demokratis pada anak tumbuh rasa tanggungjawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkahlaku dan selanjutnya memupuk kepercayaan dirinya. Ia mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada pada dirinya untuk memperoleh kepuasan dan menyesuaikan diri dan kalau tingkahlakunya tidak berkenan bagi orang lain ia mampu menunda dan menghargai tuntutan pada lingkungannya sebagai sesuatu yang memang bisa berbeda dengan norma pribadinya. Dalam usaha orangtua menanamkan disiplin pada anak, cara demokratis memang paling ideal.

Teori E. Erikson, cara-cara penanaman disiplin setahap demi setahap adalah sebagai berikut:

1. Anak berusia 1½ - 3 tahun

Anak-anak pada umur ini mulai merasakan adanya kebebasan. Pertumbuhan fisik anak pada masa ini memungkinkan melakukan gerak – gerik, berjalan dan berlari dengan bebas. Anak merasa bebas dan ingin melakukan sendiri karena memang sudah bisa. Ia mulai bisa melatih diri, mencoba kemampuan dan kemauannya.

Pada masa ini orangtua harus memulai usaha-usaha aktif untuk membimbing dan mengarahkan tingkahlaku anak secara bertahap yang memberikan kepuasan dan perasaan bebas tetapi aman. Keberhasilan usaha orangtua untuk memulai menanamkan disiplin sering ditandai dengan keberhasilannya melatih menguasai otot-otot pelepasannya untuk membuang air seni dan kotorannya.

2. Anak usia 3 – 5 tahun

Anak bisa melepaskan diri secara bebas dari lingkungan hidup orangtua dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Tidak lagi tergantung, melainkan sudah mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu. Ia mulai mengetahui kemampuan dan keterbatasannya dan bisa berkhayal mengenai apa yang akan dilakukan. Ia bisa mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan, meskipun seringkali apa yang dilakukan tidak berkenan bagi orangtuanya.

Anak menyenangi hal-hal yang baru yang menarik dan sudah mampu “bekerjasama” dengan orang dewasa. Orangtua perlu membiarkn tingkahlaku anak yang masih dalam batas-batas dapat di terima atau yang sesuai dengan dasar yang ada dan ditentukan oleh orangtua. Di pihak lain orangtua perlu menunjukkan dan mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan, yang salah, sehingga si anak mengetahui dan tidak melakukan lagi.

3. Anak usia 5 – 7 tahun

Anak-anak pada masa ini akan melakukan apa yang diingini dan dikuasai oleh dorongan-dorongan dari dalam. Anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya tidak boleh mendasarkan pada dorongan-dorongan dalamnya, melainkan harus menyesuaikan terhadap keinginan dan tuntutan dari lingkungannya. Ia mulai bisa mengikuti aturan permainan, menunjukkan tumbuhnya pengertian akan batasan-batasan yang harus diikuti dan tidak lagi bertindak semata-mata mendasarkan pada keinginan dan kepuasan saja. Anak mulai memperkembangkan disiplin diri dan menyadari bahwa tingkahlaku yang sesuai dengan norma lingkungannya harus sering dilakukan karena hal itu akan menyenangkan orang lain dan dirinya sendiri. Orangtua secara bertahap harus melatih anak agar bisa menguasai diri dan mau menerima perintah-perintah, anjuran-anjuran atau bahkan tuntutan dari orangtua.

Anak-anak pada umur ini (biasanya sudah sekolah di TK atau SD) banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan aturan-aturan dari luar. Meluasnya hubungan-hubungan sosial dengan anak-anak di luar rumah akan mulai berpengaruh. Anak membandingkan antara norma rumah dan norma lingkungan sosialnya dan bisa menimbulkan konflik antara kesenangan dan ketakutan atau antara dorongan kenikmatan dan penguasaan diri. Orangtua hendaknya mulai banyak mempergunakan teknik demokratis dan “non-power assertive technique” untuk menanamkan disiplin. Menerangkan sesuatu sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya yang berada pada masa pra-operasional. Piaget) perlu dilakukan disamping usaha-usaha aktif untuk menunjukkan dan kalau perlu memberi contoh bagaimana bersikap yang baik dan bertingkahlaku yang benar.

4. Anak usia 7 – 12 tahun

a. Pengaruh lingkungan menjadi lebih luas, teman-teman bertambah

b. Disiplin disekolah lebih ketat dari pada sebelumnya ketika di TK, tetapi di luar sekolah sulit untuk diawasi terus menerus.

c. Anak harus memahami alasan-alasan sesuatu perbuatan dilarang dan tidak boleh dilakukan.

d. Orangtua harus menjelaskan alasan-alasan sesuatu perbuatan yang dilarang dengan mengajak memikirkan bersama

e. Orangtua harus mengulang-ulang kalau pada anak masih belum bisa menguasai diri, disamping memperlihatkan contoh-contoh untuk dijadikan model dari tingkahlaku yang diharapkn.

f. Mengingatkan sesuatu perbuatan yang salah tanpa tekanan dan emosi sambil menunjukkan apa yang sebaiknya dilakukan akan sangat banyak manfaatnya dalam menghadapi anak pada masa perkembangan ini.

Tugas Perkembangan Masa Bayi Dan Anak-Anak (0 – 5 Tahun)

a. Belajar berjalan

b. Belajar memakan makanan padat

c. Belajar berbicara

d. Belajar mengontrol pembuangan kotoran dari diri sendiri (buang air kecil dan air besar)

e. Belajar membedakan jenis kelamin

f. Mencapai kematangan fisik

g. Membentuk konsep-konsep sederhana mengenai realitas sosial fisik

h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung, dan orang lain.

i. Belajar memahami yang baik dan yang buruk.

Tugas Perkembangan Anak-Anak (6 – 11 Tahun)

a. Mempelajari keterampilan fisik yang perlu untuk berbagai permainan sederhana.

b. Membina sikap hidup sehat, untuk diri sendiri dan lingkungan.

c. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

d. Belajar menjalankan peranan sosial yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya.

e. Belajar keterampilan dasar: membaca, menulis dan berhitung.

f. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

g. Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.

h. Mencapai kebebasan pribadi

i. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga sosial.

Tugas Perkembangan Masa Remaja (12 – 18 tahun)

a. Mencapai hubungan-hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya antar jenis kelamin yang sama dan berbeda.

b. Mencapai peranan sosial sebagai pria dan wanita.

c. Menerima kesatuan tubuh sebagaimana adanya dan menggunakan secara efektif.

d. Mencapai kemerdekaan emosional terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.

e. Mencapai keadaan dimilikinya jaminan untuk kemerdekaan ekonomi.

f. Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.

g. Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan kehidupan berkeluarga

h. Mengembangkan ketrampilan intelektual dan konsep-konsep yang perlu untuk kehidupan sebagai warga negara.

i. Mengembangkan hasrat dan mencapai kemampuan bertingkahlaku yang dapat dipertimbangkan secara sosial.

j. Menguasai seperangkat nilai dan sistematika sebagai pedoman.

Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal (19 – 30 tahun)

a. Memilih pasangan hidup

b. Belajar hidup dengan pasangan dalam ikatan perkawinan

c. Memulai kehidupan berkeluarga

d. Memelihara dan mendidik anak

e. Mengelola rumah tangga

f. Mulai menjalani karier tertentu

g. Memikul tanggung jawab sebagai warga negara

Menemukan kelompok-kelompok sosial yang sesuai.

Tidak ada komentar: